Paling tidak masalah cybercrime di Indonesia adalah sebagai berikut:
-
Indonesia meskipun dengan penetrasi Internet yang rendah (8%), memiliki prestasi menakjubkan dalam cyberfraud terutama pencurian kartu kredit (carding). Menduduki urutan 2 setelah Ukraina (ClearCommerce)
-
Indonesia menduduki peringkat 4 masalah pembajakan software setelah China, Vietnam, dan Ukraina (International Data Corp)
-
Beberapa cracker Indonesia tertangkap di luar negeri, singapore, jepang, amerika, dsb
-
Beberapa kelompok cracker Indonesia ter-record cukup aktif di situs zone-h.org dalam kegiatan pembobolan (deface) situs
-
Kejahatan dunia cyber hingga pertengahan 2006 mencapai 27.804 kasus (APJII)
-
Sejak tahun 2003 hingga kini, angka kerugian akibat kejahatan kartu kredit mencapai Rp 30 milyar per tahun (AKKI)
-
Layanan e-commerce di luar negeri banyak yang memblok IP dan credit card Indonesia. Meskipun alhamdulillah, sejak era tahun 2007 akhir, mulai banyak layanan termasuk payment gateway semacam PayPal yang sudah mengizinkan pendaftaran dari Indonesia dan dengan credit card Indonesia
Indonesia menjadi tampak tertinggal dan sedikit terkucilkan di dunia
internasional, karena negara lain misalnya Malaysia, Singapore dan
Amerika sudah sejak 10 tahun yang lalu mengembangkan dan menyempurnakan
Cyberlaw yang mereka miliki. Malaysia punya Computer Crime Act (Akta
Kejahatan Komputer) 1997, Communication and Multimedia Act (Akta
Komunikasi dan Multimedia) 1998, dan Digital Signature Act (Akta
Tandatangan Digital) 1997. Singapore juga sudah punya The Electronic Act
(Akta Elektronik) 1998, Electronic Communication Privacy Act (Akta
Privasi Komunikasi Elektronik) 1996. Amerika intens untuk memerangi
child pornography dengan: US Child Online Protection Act (COPA), US
Child Pornography Protection Act, US Child Internet Protection Act
(CIPA), US New Laws and Rulemaking.
Jadi kesimpulannya, cyberlaw adalah kebutuhan kita bersama.
Cyberlaw akan menyelamatkan kepentingan nasional, pebisnis Internet,
para akademisi dan masyarakat secara umum, sehingga harus kita dukung.
Nah masalahnya adalah apakah UU ITE ini sudah mewakili alias layak untuk disebut sebagai sebuah cyberlaw? Kita analisa dulu sebenarnya apa isi UU ITE itu.
MUATAN UU ITE
Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah
cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia
maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga
ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah
sebagai berikut:
-
Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
-
Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
-
UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia
-
Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
-
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
-
Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
-
Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
-
Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
-
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
-
Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
-
Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
-
Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
-
Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))
-
PASAL KRUSIAL
Pasal yang boleh disebut krusial dan sering dikritik adalah Pasal
27-29, wa bil khusus Pasal 27 pasal 3 tentang muatan pencemaran nama
baik. Terlihat jelas bahwa Pasal tentang penghinaan, pencemaran, berita
kebencian, permusuhan, ancaman dan menakut-nakuti ini cukup mendominasi
di daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE. Bahkan sampai
melewatkan masalah spamming, yang sebenarnya termasuk masalah vital dan
sangat mengganggu di transaksi elektronik. Pasal 27 ayat 3 ini yang juga
dipermasalahkan juga oleh Dewan Pers bahkan mengajukan judicial review
ke mahkamah konstitusi. Perlu dicatat bahwa sebagian pasal karet
(pencemaran, penyebaran kebencian, penghinaan, dsb) di KUHP sudah
dianulir oleh Mahkamah Konstitusi.
Para Blogger patut khawatir karena selama ini dunia blogging
mengedepankan asas keterbukaan informasi dan kebebasan diskusi. Kita
semua tentu tidak berharap bahwa seorang blogger harus didenda 1 miliar
rupiah karena mempublish posting berupa komplain terhadap suatu
perusahaan yang memberikan layanan buruk, atau posting yang meluruskan
pernyataan seorang “pakar” yang salah konsep atau kurang valid dalam
pengambilan data. Kekhawatiran ini semakin bertambah karena pernyataan
dari seorang staff ahli depkominfo bahwa UU ITE ditujukan untuk blogger dan bukan untuk pers Pernyataan ini bahkan keluar setelah pak Nuh menyatakan bahwa blogger is a part of depkominfo family. Padahal sudah jelas bahwa UU ITE ditujukan untuk setiap orang.
YANG TERLEWAT DAN PERLU PERSIAPAN DARI UU ITE
Beberapa yang masih terlewat, kurang lugas dan perlu didetailkan
dengan peraturan dalam tingkat lebih rendah dari UU ITE (Peraturan
Menteri, dsb) adalah masalah:
-
Spamming, baik untuk email spamming maupun masalah penjualan data pribadi oleh perbankan, asuransi, dsb
-
Virus dan worm komputer (masih implisit di Pasal 33), terutama untuk pengembangan dan penyebarannya
-
Kemudian juga tentang kesiapan aparat dalam implementasi UU ITE. Amerika, China dan Singapore melengkapi implementasi cyberlaw dengan kesiapan aparat. Child Pornography di Amerika bahkan diberantas dengan memberi jebakan ke para pedofili dan pengembang situs porno anak-anak
-
Terakhir ada yang cukup mengganggu, yaitu pada bagian penjelasan UU ITE kok persis plek alias copy paste dari bab I buku karya Prof. Dr. Ahmad Ramli, SH, MH berjudul Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Kalaupun pak Ahmad Ramli ikut menjadi staf ahli penyusun UU ITE tersebut, seharusnya janganlah terus langsung copy paste buku bab 1 untuk bagian Penjelasan UU ITE, karena nanti yang tanda tangan adalah Presiden Republik Indonesia. Mudah-mudahan yang terakhir ini bisa direvisi dengan cepat. Mahasiswa saja dilarang copas apalagi dosen hehehehe
KESIMPULAN
UU ITE adalah cyberlaw-nya Indonesia, kedudukannya sangat penting
untuk mendukung lancarnya kegiatan para pebisnis Internet, melindungi
akademisi, masyarakat dan mengangkat citra Indonesia di level
internasional. Cakupan UU ITE luas (bahkan terlalu luas?), mungkin perlu
peraturan di bawah UU ITE yang mengatur hal-hal lebih mendetail
(peraturan mentri, dsb). UU ITE masih perlu perbaikan, ditingkatkan
kelugasannya sehingga tidak ada pasal karet yang bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan yang tidak produktif
UPDATE (25 April 2008): UU ITE telah mendapatkan nomor dan
ditandatangani oleh Presiden SBY pada tanggal 21 April 2008. UU ITE
menjadi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Lembaran Negara No 58 dan Tambahan Lembaran Negara No 4843
0 komentar:
Posting Komentar